Senin, 11 Mei 2009

PKL, Kantong Bisnis & Paket Wisata Yogya


Oleh : Supadiyanto

KabarIndonesia - Pernahkah Pemda/Pemkot DIY menggagas ide (konsep) "pemodernisasian" para Pedagang Kaki Lima (PKL), hingga mampu mengubah citra negatif PKL yang kumuh menjadi "kantong bisnis" sekaligus "paket wisata" di Kota Gudeg ini?

Pertanyaan ini muncul, berangkat dari keprihatinan penulis kala mencermati masih amburadulnya manajemenisasi per-PKL-an di Yogyakarta. Padahal di sejumlah kota besar seperti di Solo yang belum lama ini merelokasikan ratusan PKL menuju kawasan yang lebih tertata apik, di tengah pusat kota. Tidak seperti di Yogyakarta, yang masih berjalan apa adanya. Lihat saja, bagaimana semrawutnya PKL di sepanjang trotoar Malioboro. Belum lagi melihat crowded-nya antrian PKL di Pasar Sentir (Tugu Yogya) dan tempat lainnya.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pasca mengamati detil semrawutnya pasar tradisional di seantero Yogyakarta. Hingga berekses pada kemacetan lalu lintas setiap hari. Tak pelak kecelakaan lalu lintas, sering terjadi di depan pasar tradisional-yang juga sebagai basis para PKL mangkal. Cobalah lagi simak, bagaimana senewen-nya arus lalu lintas di depan Pasar Demangan dan Pasar Telo. Hal serupa, kerap pula terjadi di sentral Pasar Colombo, Beringharjo, Godean, Kenteng dan pasar tradisional lain. Kerumunan orang yang bertransaksi jual beli, di tepi jalan tersebut, sangat memungkinkan sebagai biang pemicu great lock-nya arus lalu lintas. Kerawanan kecelakaan lalu lintas, pastilah menjadi ancaman bagi keselamatan para pengunjung pasar tradisional. Buktinya, hampir setiap minggunya-terdapat satu atau lebih kasus kecelakaan yang menelan korban jiwa.

Secara lugas, tulisan ini tak bermaksud menghakimi secara sepihak pasar tradisional dan PKL sebagai biang kemacetan lalu lintas. Toh juga mal, hotel, café dan simbol bangunan kota metropolis yang serba modern, tak kalah sebagai biang pemicu kemacetan lalu lintas di Yogyakarta.

Terkait dengan ironisitas semua itu -sekali lagi- kuasakah PKL dan pasar tradisional menjadi ikon baru bagi peletupan "kantong bisnis" sekaligus "potensi pariwisata" di Yogyakarta? Terlebih setelah gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter menimpa DIY dan Jawa Tengah pada akhir Mei lalu, praktis menimbulkan kerusakan infrastruktur, hingga menyebabkan lahirnya pengangguran baru. Bukankah kepedulian pemerintah mengarahkan para pemuda/i guna menekuni usaha di bidang PKL, mereka telah memecahkan masalah pelik seputar pengangguran di kota ini? Hanya dengan pendekatan psikologis dan kulturallah, upaya yang paling efektif untuk "memilut hati" para PKL agar memiliki kesadaran diri dalam menampilkan potensi dagangannya.

Terobosan serta manuver Pemkot/Pemda DIY bekerjasama dengan banyak pihak dalam rangka menggairahkan aktivitas ekonomi terkait sektor PKL dan pasar tradisional; mudah-mudahan dapat segera mengatasi kekalutan dan dilematis eksistensi "kaum kecil" di masa kini dan akan datang. Yogyakarta yang terkenal dengan julukan Kota Budaya, pariwisata sekaligus Pendidikan; kiranya sedikit banyak kuasa memuluskan kebijakan Pemkot/da dalam menata dan memberdayakan para PKL di wilayahnya.

Jumlah pengangguran yang cukup melimpah dari tahun ketahun di DIY, bakalan menimbulkan masalah sosial tersendiri apabila tak tertangani secara maksimal. Pun apabila pemerintah keliru dalam memberlakukan kebijakannya, seputar pemberdayaan para PKL di atas. Karena mayoritas PKL yang berlatar belakang pendidikan relatif rendah, bisa menjadi kendala umum.

Namun yang pantas diacungi jempol adalah komitmen serta keuletan prinsip kerja yang dilakoni para pedagang kaki lima ini. Mereka seolah tak memiliki keletihan, padahal dari tangan merekalah roda perputaran perekonomian di Kota Gudeg itu dapat berdenyut. Bila ditelaah lebih lanjut, PKL merupakan katup pengaman perekonomian daerah sebagai kantong bisnis. Penataan dan restrukturisasi per-PKL-an, pada masa postmodernisasi ini memang menjadi tuntutan zaman. Pasalnya, dengan upaya pemanajemenisasian PKL, akan memberikan dampak positif bagi para pengunjung/pembeli. Dalam hal ini, para pengunjung tidak hanya dimanjakan oleh pelayanan dari para pedagang, namun pula bisa menjadi ajang hiburan di akhir pekan.

Konsep wisata dengan menjual eksotisitas pemandangan hiruk pikuk (aktivitas) PKL, sepanjang ini belum pernah tergarap secara optimal. Apabila Pemkot/Pemda mampu merancang konsep mentah itu, bukan tak mungkin konstelasi PKL yang terkesan kumuh, dapat tersulap menjadi ajang bisnis sekaligus basis pariwisata yang teramat menjanjikan.

Konsep pemodernisasian PKL, sebaiknya dilakukan dengan proses sosialisasi terlebih dahulu melalui pamong desa dan juga media massa. Setelah itu, penetrasi yang dilakukan dengan melakukan berbagai pendekatan psikologis sekaligus kultural pada para pedagang dan masyarakat sekitar mengenai plus minus konsep pemodernisasian PKL, dan juga pasar tradisional.

Bercermin dari kemajuan PKL dan pasar tradisional yang berada di sejumlah kota, tak menutup kemungkinan dengan mencontoh PKL di luar negeri; konsep pemodernisasian PKL menjadi greng dalam membangkitkan denyut nadi perekonomian kerakyatan; justru setelah terjadi penetrasi modernisitas. Di mana, kinerja dalam sistematika PKL mengadopsi nilai-nilai modern yang mendahulukan profesionalitas pelayanan. Belum adanya sentuhan konsep pemodernisasian terhadap para PKL, dipastikan menjadi biang timbulnya semrawut pada pengusaha kelas kecil itu.

Kesan kumuh serta manajemen yang amburadul pada PKL, hendaknya dapat diminimalisir dengan menyontek nilai-nilai modernisitas tadi. Hanya saja yang pantas dipertanyakan saat ini, dapatkah konsep pemodernisasian PKL nilai-nilai kearifan budaya lokalnya? Yang terjadi selama ini, tak ada kata sepakat antara konsep nilai modern dengan "makhluk" yang bernama tradisional. Padahal, bila mau ditelaah masing-masing komponen memiliki keunggulan sendiri. Desain modern yang mampu menawarkan manajemen yang perfeksionistis, sementara itu kesan tradisional mewariskan nilai-nilai lokalitas serta kearifan budayanya. Proyek pemodernisasian PKL yang hanya memberikan peluang timbulnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di tengah perjalanan; hanya akan menghancurkan kredibilitas pemerintah sendiri. Yang terpenting detik ini adalah itikad baik seluruh stakeholder yang berkecimpung dalam proyek pemodernisasian PKL dan pasar tradisional, agar tak timbul dampak buruk susulan bagi permasalahan sosial.

*)Supadiyanto, Peneliti muda pada Intan of Cultural Research Centre (ICRC); Pembelajar Jurdik Matematika FMIPA UNY & Jurusan KPI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (30 April 2007)

Sumber :
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=15&jd=PKL,+Kantong+Bisnis+%26+Paket+Wisata+Yogya&dn=20070430061334
11 Mei 2009

Sumber Gambar :
http://community.kompas.com/photo/image/malioboro2.jpg

1 komentar:

  1. menarik sekali, memang benar sekali kemacetan muncul di beberapa pasar tradisional. Saya sering lewat pasar demangan, parkiran disana sungguh memakan bahu jalan.

    BalasHapus